Membaca Al-Quran: Bentuk Syukur Mata

Iqra, bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan. Ayat ini menandai awal turunnya wahyu ilahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad s.a.w. melalui perantara malaikat Jibril di gua Hira. Dalam banyak riwayat dan sumber-sumber tertulis dijelaskan bahwa nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu melalui beberapa cara.

Al Qur’an menjadi kitab suci bagi umat muslim. Ia memiliki sejarahnya sendiri dan terus dibaca, dipelajari, dan dikaji. Tidak hanya oleh umat muslim, namun juga oleh para sarjana atau ilmuan non-muslim. Sebut saja Annimarie Schimmel (7 April 1922 – 26 Januari 2003), seorang Orientalist perempuan asal Jerman. Wafat pada usia 81 tahun.

Ia telah melahirkan banyak karya tulis tentang keislaman, termasuk seputar dunia sufi. Sejak usia muda ia sudah menguasai sejumlah bahasa dunia, termasuk bahasa Persia, Ibrani, Urdu, dan bahasa Arab. Pada usia 23 tahun ia dikukuhkan sebagai profesor bidang Kajian Islam dan Arab di Universitas Marburg, Jerman.

Sekadar diketahui, batu nisan di makamnya terukir indah kutipan syahdu berbahasa Arab berbunyi: an naasu niyaamun, fa idzaa maatu intabahuu. Manusia itu tidur, ketika mati barulah mereka bangun.

Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang membenci dan melakukan tindakan penodaan agama dengan membakar al Qur’an atau tindakan lainnya karena didasari oleh sikap islamphobia sebagaimana terjadi di Swedia yang ramai menjadi pemberitaan media internasional. Tindakan yang kemudian menyulut aksi unjuk rasa kaum muslimin di pelbagai belahan dunia.

Bagi kaum muslimin, membaca al Qur’an bernilai pahala, bahkan bagi orang yang mendengarkannya. Dalam membudayakan membaca al Quran, pemerintah melalui kementerian agama mengampanyekan program maghrib mengaji. Meskipun tanpa dikampanyekan pun, di kampung-kampung sudah lazim kalau mengaji al Qur’an setelah maghrib baik di surau atau langgar maupun di masjid.

Gerakan baca dan tulis al Qur’an pun sampai hari ini terus dilakukan baik melalui institusi pendidikan agama seperti Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), Majelis Taklim maupun pondok pesantren. Bahkan banyak program keagamaan yang secara khusus untuk menghafal al-Qur’an.

Seiring perjalanan waktu, kalangan industri media penyiaran pun menjadikan hafalan al Qur’an sebagai program siaran TV dan ajang kompetisi para penghafal al-Qur’an baik usia dini atau anak-anak maupun remaja atau dewasa. Biasanya ditayangkan selama bulan suci ramadhan.

Dulu, ajang lomba atau kompetisi hafalan al Qur’an hanya dapat ditemukan pada ajang Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) semasa rezim Orde Baru dan sampai saat ini pun terus eksis, bahkan menjadi ajang kompetisi level internasional.

Banyak orang tua muslim yang memasukkan putra dan putrinya ke pondok pesantren atau pun institusi pendidikan keagamaan yang khusus untuk menghafal al-Qur’an. Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang dirasakan jika anak-anaknya menjadi penghafal al-Quran.

Soal membaca al Qur’an, saya ingin bercerita. Cerita ini merupakan pengalaman pribadi ketika pada suatu waktu saya berinteraksi dengan para sesepuh, remaja, dan anak-anak muda di kampung halaman.

Sebuah kampung yang 100% warganya adalah kaum nahdliyyin (wong NU). Sebuah kampung di Kabupaten Kebumen. Kabupaten dengan ikon kotanya Tugu Walet. Kabupaten yang masuk kategori termiskin di provinsi Jawa Tengah.

Lazimnya wong NU pada umumnya, warga kampung selalu membudayakan tradisi kenduri baik dalam rangka mendoakan orang yang sudah meninggal dunia atau pun acara lainnya.

Dalam suatu kesempatan kenduri yang dilaksanakan di rumah salah seorang warga, pak kaum, begitu biasanya warga memanggil namanya, menyampaikan kepada para warga yang kebetulan berkesempatan hadir karena diundang oleh sohibul hajat.

Usia beliau sudah kisaran 75 tahun, termasuk orang yang paling sepuh di kampung. Para sesepuh kampung seumuran beliau telah banyak yang berpulang. Urusan kematian pasti beliaulah yang ngurusi di kampung.

Sebelum pembacaan surah Yasin dan tahlil dimulai, beliau menyampaikan hal yang menurutku menarik untuk direnungkan.

Beliau memang bukan alumnus pesantren, apalagi hafiz al Qur’an, tetapi beliau sejak muda memang senang mengaji ke banyak kiai di sekitaran kabupaten.

Ucapan beliau saat itu masih teringat dengan baik dan jelas dalam memori kepalaku. Tentu saja bagi mereka yang mendengarkan. Tidak semua orang yang hadir kadang mendengarkan dengan saksama.

Beliau menyampaikan bahwa meskipun kamu semua misal hafal surah Yasin atau Al Qur’an sekalipun, tetapi ketika di forum banyak orang, tidak perlu kamu tunjukkan kemampuan hafalanmu. Lebih baik membaca, sebab membaca berarti tanda atau bentuk syukur atas nikmat mata yang dianugerahkan oleh Allah s.w.t.

Ucapan beliau tersebut memang terdengar sederhana, namun sebenarnya mengandung wejangan atau nasihat yang dalam. Dalam bahasa agama, kita akrab dengan ungkapan yang berbunyi “perhatikan apa yang disampaikan atau diucapkan, dan jangan memerhatikan siapa yang menyampaikan atau mengucapkan.”

Menghafal al Qur’an itu jelas baik dan mulia, namun untuk bisa menghafal al Quran seseorang tentu terlebih dulu harus bisa membacanya.

Ucapan sederhana beliau tersebut setidaknya semacam pengingat bahwa sebagai orang yang beriman sudah sepatutnya bersyukur atas segala karunia nikmat yang diberikan oleh Allah s.w.t.

Dan di antara nikmat yang patut untuk disyukuri ialah nikmat mata yang dapat melihat kalam ilahi. Dengan membaca al Quran, bukan menghafal, berarti memenuhi hak mata yang telah diberikan Tuhan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top